Artikel

Lupakan Isinya, Nikmati Kulitnya (Part I)
Minggu, 30 Juni 2024 by Administrator(Oleh: Syamsiah, S,T) Kulit atau bungkus adalah alat untuk melindungi isi dari kotoran dan kerusakan. Secara khusus, pada buah, agar tidak mudah dimakan serangga atau kelelawar. Pada hewan, kulit berfungsi menjaga suhu tubuh tetap stabil. Kulit pada hewan dapat diibaratkan pakaian pada manusia. Karenanya, hewan tidak perlu berganti-ganti pakaian.
Pada manusia, kulit atau pakaian ini dapat berganti-ganti sesuai keinginan, kebutuhan atau keharusan. Keinginan dapat dilakukan di tempat-tempat tertentu yang bersifat nonformal. Seperti pakaian di rumah, pakaian untuk tidur, dan pakaian untuk jalan-jalan. Kita bebas menganti-gantinya sesuai keinginan.
Kebutuhan sering kali tidak sesuai dengan keinginan atau malah terpaksa melakukannya. Orang yang tidak suka bersepatu tapi harus menggunakannya ketika berada di tempat-tempat formal seperti sekolah dan perkantoran. Orang yang tidak senang menggunakan mantel terpaksa memakainya saat suhu lingkungan sangat dingin.
Sedangkan keharusan adalah hal yang tercantum dalam peraturan. Di seluruh instansi pemerintahan, menggunakan seragam atau Batik Korpri di hari-hari tertentu adalah hal yang harus dilakukan.
Pakaian lahir ini dapat menipu. Banyak orang yang terlihat menggunkan pakaian mahal atau bergaya hidup mewah. Padahal ternyata hanya pakaian pinjaman, sewaan atau sedang trend, membeli melalui thrifting. Apalagi diiringi dengan status dan postingan di media sosial dengan gaya hidup mewahnya yang tentunya banyak mengundang decak kagum dan rasa iri.
Padahal banyak terjadi, di balik itu ia malah banyak berhutang demi membiayai gaya hidup mewahnya yang tidak sepadan dengan pendapatannya. Terpenting dalam menyikapi hal tersebut, jangan sampai menimbulkan rasa iri dalam diri kita masing-masing. Karena sejatinya kemewahan diri adalah kemampuan diri kita menjaga sikap pada sesama. Bukan terletak pada gaya hidup yang kita miliki.
Karenanya, ada peribahasa yang berbunyi, ”don’t judge a book from it’s cover”. Peribahasa ini memberikan pesan bahwa kita tidak boleh menilai sesuatu hanya dari penampilan luar. Bukan sekedar pakaian, tapi juga pada perilaku.
Kulit pada Karakter
Begitu pula dengan kulit karakter, dapat berganti-ganti sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan keharusan. Kulit atau bungkus pada karakter manusia disebut juga citra. Citra menjadi pakaian dan make-up agar dikenal sesuai dengan yang ditampilkan. Ia dapat berubah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tergantung dengan siapa ia berhadapan. Bagaimana citra yang ingin didapat, itulah yang ditampilkannya.
Kulit pada tataran karakter jauh lebih menipu ketimbang hanya sekedar di tataran penampilan. Banyak orang yang bicara baik di depan kita namun di belakang malah menyebarkan fitnah tentang kita. Padahal, sebagai umat beragama, jangankan fitnah, aib orang lain saja kita dilarang mengumbarnya.
Citra menjadi topeng bagi diri yang menampilkan citra yang tidak bersesuaian dengan kepribadian aslinya. Seperti pribahasa “tong kosong nyaring bunyinya”. Orang yang banyak bicara ingin terlihat lebih pintar dari yang lain. Padahal sesungguhnya yang dikatakan hanya di tataran kulit, bukan di tataran isi.
Orang-orang yang sangat mengutamakan citra biasanya lupa akan isi dirinya. Sehingga jika dikupas lebih lanjut, banyak ucapannya yang tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak pula ucapannya yang tidak konsisten dari hari ke hari. Polesan citra yang tidak diiringi dengan isi yang bermakna akan semakin terlihat kekosongannya.
Jika direspon dengan pembicaraan di tataran isi, maka ia pun akan menyanggahnya karena tidak bersesuaian dengan pemahamannya. Orang seperti ini mencitrakan dirinya selalu benar sehingga tidak dapat menerima pendapat lain yang berbeda sudut pandang dengannya.
Banyak orang yang bicaranya pedas dan suka menghakimi orang lain agar ia terlihat lebih baik. Padahal sebaik-baiknya kita adalah yang mampu menjaga ucapan dan nada bicara agar tidak membuat orang lain tersinggung. Dan yang paling bahaya namun justru inilah yang paling banyak dilakukan, adalah menggunakan dalil-dalil agama untuk menghakimi orang lain yang berbeda pandangan dengannya. Tafsir agama seperti ini adalah tafsir yang dangkal. Tuhan tidak pernah memerintahkan kita untuk menyalahkan orang lain yang berbeda pandangan apalagi menyerangnya.
Menegur kesalahan seseorang musti dengan cara yang hikmah dan tidak di depan orang banyak. Bukan dengan menjadikannya bahan pergunjingan, lalu menghakiminya sehingga membuat seseorang tersudutkan.
Pemahaman tentang kebaikan yang hanya di tataran kulit menjadikannya hanya menilai sesuatu juga hanya berdasar apa yang terlihat di depan matanya saja. Sehingga mereka mudah ditipu dengan citra diri orang lain. Karenanya, pencitraan karakter ini sangatlah mudah terbaca bagi orang-orang yang mementingkan isi.
Menjadi Manusia Berisi
Kalau orang-orang yang mementingkan isi ketimbang kulitnya, maka ia pun akan berusaha memahami sudut pandang lain yang berbeda dengannya. Inilah perbedaan antara mereka yang hanya melihat pada kulitnya dengan yang melihat lebih dalam ke isinya. Karena terbiasa mengutamakan isi, orang-orang yang penuh isi dan makna cenderung lebih suka terlihat biasa saja.
Mereka tidak mau terlihat menonjol karena sudah selesai dengan kulitnya. Mereka sudah disibukkan dengan isi ketimbang kulit atau sekedar citra kosong tak terbukti. Karakter yang sudah mementingkan isi menghasilkan pembicaraan yang penuh bobot dan tidak hanya berdasar sudut pandangnya saja. Orang-orang berisi mampu menyamakan cara komunikasinya dengan lawan bicaranya. Sehingga siapapun dapat merasa nyaman berinteraksi dengannya.
Maka merugilah orang-orang yang menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya. Ia tidak dapat menikmati isinya yang jauh lebih nikmat dan sesuai dengan kebutuhan jiwa dan raga. Mereka juga tidak bisa menikmati indahnya keaslian pribadi orang-orang yang terlihat biasa saja namun penuh isi. Atau orang-orang yang perilakunya tidak umum dan selalu diberikan stigma tertentu. Seandainya kita semua mau mencoba mendengar dan mengenal lebih dekat orang-orang di sekitar kita, maka kita akan tahu, bagaimana sesungguhnya kepribadian asli mereka.
Karena dengan membuka diri dan banyak berinteraksi, kita akan makin kaya akan sudut pandang kehidupan. Sehingga tidak lagi mudah menghakimi hanya berdasar satu sudut pandang saja yang dianggap sebagai kebenaran.